JUMLAH PENGUNJUNG

Translate

Rabu, 06 November 2013

Tahukah Anda: Umumnya Dokter Bedah Tidak Pakai Cincin Kawin?



Katanya demi tuntutan profesi, umumnya dokter bedah yang walaupun sudah menikah, memilih untuk tidak memakai cincin pernikahannya dalam kehidupan sehari-hari. Dokter bedah –termasuk dokter ortopedi yang harus cukup sering mengguna-kan pisau bedah dalam pekerjaannya– demi menghindari resiko infeksi pada pasien, harus rela untuk tidak mengenakan aksesoris pada tangan mereka, seperti gelang, jam tangan, atau cincin, termasuk cincin pernikahan atau yang lebih sering kita sebut dengan cincin kawin. Alasannya, kedua tangan sang dokter bedah harus disteril, dari ujung kuku hingga di atas siku tangan sebelum melakukan pembedahan. Sarung tangun mungkin terperforasi(sekitar 30%) selama pembedahan. Ditambah kenyataan bahwa cincin kawin umumnya tidak polos, tetapi dihiasi batu permata, sehingga ada celah-celah yang bisa luput dari sterilisasi dan kemungkinan cincin bisa merobek sarung tangan operasi, jadi harus dilepas. Terlalu sering dilepas, akhirnya mungkin bisa hilang karena lupa memakainya kembali. Jam tangan atau gelang kalau hilang bisa dibeli gantinya. Kalau cincin kawin? Saya jadi ingin tahu apa pendapat pribadi sang dokter bedah.

Mumpung ibu saya belum pulih dari fraktur trochanter pasca bedah fiksasi, saya pun tidak melepaskan peluang untuk bertanya pada sang dokter bedah ortopedi. Jadi untuk kesekian kalinya sayapun tanya-tanya pada dokter ortopedi yang menangani bedah fiksasi fraktur trochanter pada Ibu saya, Dr. Kurniawan, SpOT. Beliau menjawab bahwa karena dalam pembedahan harus steril, maka aksesoris seperti jam tangan dan cincin, termasuk cincin kawin harus dilepas. Karena kuatir bisa hilang karena terlalu sering dilepas, akhirnya disimpan saja alias tidak pakai cincin kawin. Sebenarnya sih masih ingin bertanya, bagaimana pendapat dan sikap isteri sang dokter tentang hal ini. Tetapi karena kuatir dianggap melanggar ranah pribadi sang dokter, sayapun urung bertanya lebih jauh.

Jadi beralihlah saya ke internet untuk jawaban yang lebih lengkap. Inilah hasil yang saya temukan. Ternyata bukan hanya dokter bedah, tetapi praktisi medis lain yang berhubungan dengan ruang operasi umumnya, baik itu suster, resident maupun dokter bedah/anasthesia, mau tak mau harus menghadapi “masalah” cincin kawin ini.
·         Cukup mengejutkan, ternyata jawaban Dr. Kurniawan, SpOT  ternyata mewakili pilihan mayoritas dokter bedah: tidak memakai cincin kawin dalam kehidupan sehari-hari, kecuali untuk acara resmi sosial seperti resepsi, kondangan, dan lain-lain. Pulangnya, ya dilepas lagi.
·         Berdasarkan polling yang pernah diadakan di Amerika, sebagian pasangan dokter bedah memang tidak keberatan bahwa sang dokter bedah tidak memakai cincin kawin. Daripada cincin kawin nya dilepas dan taruh di sembarang tempat, mending disimpan di rumah, adalah salah satu jawaban isteri seorang dokter bedah.
·         Ada juga dokter bedah yang memilih tetap memakai cincin kawin nya, bukan di jari tangan, tetapi dicantolkan pada kalung leher seperti bandul. Kebayang gak, seorang dokter bedah berusia 50an atau lebih, memakai kalung yang berbandul cincin? Hm…
·         Ada juga dokter bedah yang memilih untuk menggunakan 2 cincin, cincin kawin resmi yang “fancy” untuk acara sosial resmi saja, dan cincin polos untuk dipakai sehari-hari dan gampang disteril sehingga bisa di pakai di bawah sarung tangan operasi, sebagai penanda bahwa dokter yang bersangkutan sudah menikah, untuk mencegah salah paham yang tak perlu.
·         Lalu ada yang mengusulkan, di tattoo bentuk cincin saja. Memang sepintas sepertinya tattoo cincin bisa jadi penyelesaian yang praktis. Tetapi jangan lupa, bagian dalam telapak dan jari tangan tak bisa di tattoo. Jadi janggal ‘kan, cincinnya cuma setengah. Lalu kalau kebetulan terjadi perceraian, atau pasangannya meninggal, bagaimana? Menghapus tattoo jelas tak mudah.
·         Lalu memang pernah ada riset tentang perbedaan tingkat infeksi pada pasien yang dibedah, antara hasil bedah dari dokter yang memakai cincin dan tidak memakai cincin. Disebutkan dalam riset tersebut, 2 tahun pertama sang dokter bedah tidak memakai cincin dalam tiap pembedahan. 2 tahun berikutnya sang dokter bedah memakai platinum polos(dipilih yang polos supaya tidak ada kemungkinan merobek sarung tangan) di bawah sarung tangan operasi. Dengan catatan bahwa pada tiap proses sterilisasi tangan pra bedah, dipastikan bahwa cincin dilepas dan ikut disteril, demikian juga permukaan kulit jari tempat cincin. Dari hasil percobaan 4 tahun tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan tingkat infeksi antara memakai dan tidak memakai cincin. Justru celah-celah dan kutikula jari-jari tangan yang menyebabkan resiko infeksi yang lebih tinggi, dibanding memakai cincin platinum polos tersebut.

Jadi sebenarnya semua berpulang pada pilihan pribadi, bagaimana menyikapinya. Tetapi dokter bedah sepertinya halnya dokter pada umumnya punya jadwal yang sangat padat, antara lain jadwal praktek, harus terus-menerus belajar pengetahuan tentang bidang mereka yang memang terus berkembang, harus memperbarui lisensi praktek tiap jangka waktu tertentu, waktu untuk keluarga, dan mungkin kegiatan kemanusiaan seperti bakti sosial, belum lagi kehidupan sosial, sepertinya waktunya tidak pernah cukup pakai, jadi tak heran penggunaan waktunya harus seefisien mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar