Katanya
demi tuntutan profesi, umumnya dokter bedah yang walaupun sudah menikah,
memilih untuk tidak memakai cincin pernikahannya dalam kehidupan sehari-hari. Dokter
bedah –termasuk dokter ortopedi yang harus cukup sering mengguna-kan pisau bedah
dalam pekerjaannya– demi menghindari resiko infeksi pada pasien, harus rela
untuk tidak mengenakan aksesoris pada tangan mereka, seperti gelang, jam
tangan, atau cincin, termasuk cincin pernikahan atau yang lebih sering kita
sebut dengan cincin kawin. Alasannya, kedua tangan sang dokter bedah harus
disteril, dari ujung kuku hingga di atas siku tangan sebelum melakukan
pembedahan. Sarung tangun mungkin terperforasi(sekitar 30%) selama pembedahan. Ditambah kenyataan bahwa cincin kawin umumnya tidak polos, tetapi
dihiasi batu permata, sehingga ada celah-celah yang bisa luput dari sterilisasi
dan kemungkinan cincin bisa merobek sarung tangan operasi, jadi harus dilepas. Terlalu
sering dilepas, akhirnya mungkin bisa hilang karena lupa memakainya kembali.
Jam tangan atau gelang kalau hilang bisa dibeli gantinya. Kalau cincin kawin? Saya
jadi ingin tahu apa pendapat pribadi sang dokter bedah.
Mumpung ibu saya belum pulih dari fraktur trochanter pasca bedah fiksasi, saya pun tidak melepaskan peluang untuk bertanya
pada sang dokter bedah ortopedi. Jadi untuk kesekian kalinya sayapun
tanya-tanya pada dokter ortopedi yang menangani bedah fiksasi fraktur
trochanter pada Ibu saya, Dr. Kurniawan, SpOT. Beliau menjawab bahwa karena dalam
pembedahan harus steril, maka aksesoris seperti jam tangan dan cincin, termasuk
cincin kawin harus dilepas. Karena kuatir bisa hilang karena terlalu sering
dilepas, akhirnya disimpan saja alias tidak pakai cincin kawin. Sebenarnya sih
masih ingin bertanya, bagaimana pendapat dan sikap isteri sang dokter tentang
hal ini. Tetapi karena kuatir dianggap melanggar ranah pribadi sang dokter,
sayapun urung bertanya lebih jauh.
Jadi
beralihlah saya ke internet untuk jawaban yang lebih lengkap. Inilah hasil yang
saya temukan. Ternyata bukan hanya dokter bedah, tetapi praktisi medis lain yang
berhubungan dengan ruang operasi umumnya, baik itu suster, resident maupun dokter bedah/anasthesia, mau tak mau
harus menghadapi “masalah” cincin kawin ini.
·
Cukup
mengejutkan, ternyata jawaban Dr. Kurniawan, SpOT ternyata mewakili pilihan mayoritas dokter
bedah: tidak memakai cincin kawin dalam kehidupan sehari-hari, kecuali untuk
acara resmi sosial seperti resepsi, kondangan, dan lain-lain. Pulangnya, ya
dilepas lagi.
·
Berdasarkan
polling yang pernah diadakan di Amerika, sebagian pasangan dokter bedah memang
tidak keberatan bahwa sang dokter bedah tidak memakai cincin kawin. Daripada
cincin kawin nya dilepas dan taruh di sembarang tempat, mending disimpan di rumah, adalah salah satu jawaban isteri seorang
dokter bedah.
·
Ada
juga dokter bedah yang memilih tetap memakai cincin kawin nya, bukan di jari
tangan, tetapi dicantolkan pada kalung leher seperti bandul. Kebayang gak, seorang dokter bedah
berusia 50an atau lebih, memakai kalung yang berbandul cincin? Hm…
·
Ada
juga dokter bedah yang memilih untuk menggunakan 2 cincin, cincin kawin resmi
yang “fancy” untuk acara sosial resmi
saja, dan cincin polos untuk dipakai sehari-hari dan gampang disteril sehingga
bisa di pakai di bawah sarung tangan operasi, sebagai penanda bahwa dokter yang
bersangkutan sudah menikah, untuk mencegah salah paham yang tak perlu.
·
Lalu
ada yang mengusulkan, di tattoo bentuk cincin saja. Memang sepintas sepertinya
tattoo cincin bisa jadi penyelesaian yang praktis. Tetapi jangan lupa, bagian
dalam telapak dan jari tangan tak bisa di tattoo. Jadi janggal ‘kan, cincinnya cuma
setengah. Lalu kalau kebetulan terjadi perceraian, atau pasangannya meninggal,
bagaimana? Menghapus tattoo jelas tak mudah.
·
Lalu
memang pernah ada riset tentang perbedaan tingkat infeksi pada pasien yang dibedah,
antara hasil bedah dari dokter yang memakai cincin dan tidak memakai cincin.
Disebutkan dalam riset tersebut, 2 tahun pertama sang dokter bedah tidak
memakai cincin dalam tiap pembedahan. 2 tahun berikutnya sang dokter bedah memakai
platinum polos(dipilih yang polos supaya tidak ada kemungkinan merobek sarung
tangan) di bawah sarung tangan operasi. Dengan catatan bahwa pada tiap proses
sterilisasi tangan pra bedah, dipastikan bahwa cincin dilepas dan ikut
disteril, demikian juga permukaan kulit jari tempat cincin. Dari hasil
percobaan 4 tahun tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan tingkat
infeksi antara memakai dan tidak memakai cincin. Justru celah-celah dan
kutikula jari-jari tangan yang menyebabkan resiko infeksi yang lebih tinggi,
dibanding memakai cincin platinum polos tersebut.
Jadi
sebenarnya semua berpulang pada pilihan pribadi, bagaimana menyikapinya. Tetapi
dokter bedah sepertinya halnya dokter pada umumnya punya jadwal yang sangat
padat, antara lain jadwal praktek, harus terus-menerus belajar pengetahuan
tentang bidang mereka yang memang terus berkembang, harus memperbarui lisensi
praktek tiap jangka waktu tertentu, waktu untuk keluarga, dan mungkin kegiatan
kemanusiaan seperti bakti sosial, belum lagi kehidupan sosial, sepertinya
waktunya tidak pernah cukup pakai, jadi tak heran penggunaan waktunya harus seefisien
mungkin.